Logo
Covid-19 Yang Membuatku Bersyukur
Tanggal Post

04 Februari 2021

Author
Admin
Kategori
Pendidikan
covid-19-yang-membuatku-bersyukur

(Refleksi Akhir Tahun 2020)

Covid 19 merupakan hot trending sejak tahun 2020 dan berlanjut sampai saat ini. Dunia menjadi gempar, negara-negara menjadi panik, ilmu kedokteran kerja lembur, agama dipertanyakan esensinya, dan sudah pasti dunia pendidikan kalang kabut menyesuaikan diri. Masyarakat hidup dalam kecemasan dan kecurigaan, serta dipaksa memulai new normal. Kebiasaan manusia yang suka hidup dalam kemapanan digoncang dan tidak semua orang siap dengan perubahan dan harus melakukan adaptasi. Ada begitu banyak kekuatiran, ketakutan, kegamangan, kemarahan, dan putus asa karena semua aspek hidup manusia menjadi berubah.

Di Akhir tahun 2020, dalam kesunyian malam yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk jalan dan kembang api, saya mengheningkan diri. Apa yang kulihat dari covid 19 ini? Apakah melulu kisah drama yang sedih dan tragis? Adakah mutiara-mutiara yang tersembunyi yang perlu kucari jejaknya? Minimal ada tiga mutiara besar yang saya peroleh yaitu nilai kemanusiaan, persahabatan dengan alam, dan aku adalah debu.

Pertama, nilai kemanusiaan. Dari yang saya dengar maupun lihat, di masa pandemi ini, rasa kebersamaan, saling menolong semakin tinggi dan ini terjadi lintas agama, suku, ras, bahkan negara. Di lingkungan kecil seperti RT atau RW pun semakin guyup di mana masyarakat akan membantu tetangganya yang terpapar covid 19 untuk saling bergantian membawakan makanan selama mereka isolasi mandiri. Rasa empati semakin tinggi dan sekat-sekat tembok antar tetangga menjadi hilang. Melalui peristiwa ini saya bisa melihat bahwa walaupun ada juga orang yang kurang peduli pada kemalangan orang lain, pada dasarnya nilai kemanusiaanlah yang menang.

Kedua, persahabatan dengan alam. Selama lingkungan sekolah sepi, saya mengamati bahwa tahun ini pohon buah menjadi berbuah lebih banyak dengan kualitas yang baik, walaupun tanpa penanganan khusus. Fenomena ini membuat saya berefleksi. Apa yang menyebabkan mereka tumbuh subur termasuk rumput-rumput liar? Apakah kehadiran manusia selama ini membuat tumbuhan menjadi tidak nyaman hidupnya? Apakah manusia lupa dengan esensi tugasnya dalam merawat dan memelihara alam ciptaan? Atau jangan-jangan ayat 1:28 dari Kitab Kejadian tentang “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” hanya dimaknai sepotong sebagai persetujuan agar kita bisa sebebasnya melakukan eksploitasi terhadap alam karena kita adalah penguasa mereka? Refleksi ini membawa saya pada sebuah pertobatan bahwa sebagai homo sapiens dari sebuah spesies primata dari golongan mamalia, saya sudah berlaku egois bahkan rakus. Pertobaan ini menjadi suatu panggilan untuk lebih bersahabat dengan makhluk hidup lainnya.

Ketiga, aku adalah debu. Salah satu kegemaran saya adalah membaca atau menonton perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Informasi yang saya peroleh biasanya membuat saya berdecak kagum karena dengan volume otak sekitar 1350 CC, manusia bisa menciptakan banyak hal. Misalnya dalam selang beberapa tahun ini, peneliti semakin giat melakukan penelitian untuk bisa menjelajahi planet lain dengan menggunakan kecepatan cahaya atau semakin pesatnya penelitian tentang DNA. Tetapi tahun ini, manusia dengan segala kehebatannya menjadi gagap ketika munculnya virus kecil sebesar kita-kira 125 nanometer. Hampir semua negara di dunia terpapar virus seribu muka ini bahkan ia sudah menyambangi Antartika. Dampaknya tidak hanya dari sisi kesehatan tetapi berimbas pula ke masalah ekonomi, pendidikan, politik, maupun sosial. Ketika seseorang terpapar maka semua kepandaian, kedudukan, harta kekayaan tidak bisa menjadi andalan. Apalagi di saat ini di mana jumlah masyarakat Indonesia yang terpapar semakin banyak, sehingga kapasitas Rumah Sakit tidak lagi sanggup menampung pasien, semua manusia menjadi sama kedudukannya. Uang tidak mampu membeli kesehatan, kekuasaan tidak mampu meminta pelayanan terbaik, kepandaian menjadi tidak berarti. Di sinilah saya menyadari bahwa sesungguhnya manusia hanyalah setitik debu dan semakin menyadari bahwa saya tidak bisa apa-apa tanpa bantuan Tuhan. Akhirnya doa saya menjadi sangat singkat, “ya Bapa, aku bersedia untuk semua rencana-Mu dan mengandalkan kasih-Mu saja”.

Pengalaman hidup bersama virus yang mungil ini mengajakku untuk juga berdamai hidup berdampingan dengannya tanpa harus merasa kuatir yang berlebihan, walau tetap berusaha bijak. Saya akhiri tahun 2020 dengan rasa syukur yang besar, meluap keluar dari hati yang dalam. Terima kasih Tuhan atas peluang pembelajaran yang Kau berikan kepada kami berhadapan dengan krisis covid 19 yang boleh kami alami. Akhirnya Allah sungguh menjadi Immanuel di masa laluku dan akan tetap menjadi Immanuelku di tahun 2021.

Awal Januari 2021

Magdalena Lian, OSU