Logo
Sepenggal Kisah Sembilan Kilometer dari Puncak Merapi
Tanggal Post

30 Januari 2025

Author
Administrator
Kategori
Kegiatan
sepenggal-kisah-sembilan-kilometer-dari-puncak-merapi

Penulis: Lucia Ika Linawati, S.Pd., M.Hum.

Bekal

Berbekal tas ransel, niat tulus 128 siswa beserta 8 guru melangkah ke Kecamatan Hargobinangun, Sleman pada tanggal 13 s.d 16 Januari 2025  diiringi doa, dukungan dari para orangtua  kelas 8 SMP Santa Ursula Bandung  yang sebagian besar baru pertama kali melepaskan putra-putri terkasihnya melakukan perjalanan jauh dan tanpa alat komunikasi apapun. Cemas, khawatir, pasti ada tetapi penyerahan secara total dan kepercayaan akan kasih Tuhan membawa langkah siswa dan guru semakin yakin dan ringan untuk melakukan pembelajaran holistik dengan nama live in. Ikhlas melepas dan rasa percaya menjadikan perjalan yang ditempuh selama 8 jam menjadi lancar dan ringan. Canda, tawa, suara murid mirip konser Sheila on 7, baca buku, tidur, kadang makan bekal dari ortu atau snack yang telah disiapkan oleh sekolah  merupakan aktivitas siswa yang sangat beragam yang  dilakukan dengan suka cita. Sepenggal kisah perjalanan untuk menemukan pesan apa yang akan didapat atau dibisikkan melalui kegiatan ini. 

 

Langkah pertama di Hargobinangun 

Kampung Mahoni di sanalah tempat perjumpaan awal siswa-siswi SMP Santa Ursula bertemu dengan sebagian warga di kecamatan Hargobinangun  … Njih, Monggo, Matur nuwun, kulo nuwun….seperti kosa kata hapalan yang diucapkan oleh guru  dan siswa, tentu kita tahu bahwa  sebagian besar bukan berasal dari Jawa tengah atau Yogyakarta dan sekitarnya. Bukan sebagai bahan candaan tetapi sarana para siswa dan guru untuk mendekatkan diri dengan lingkungan serta keluarga baru. Jarak tempuh cukup jauh maka siswa diantar ke masing-masing rumah dengan naik truk. Naik truk merupakan pengalaman baru mungkin bagi sebagian besar siswa  maka sorak sorai mereka lakukan di atas truk .. entah apa yang melesat dalam pikirannya. Apakah ini pengalaman pertama, atau mereka merasa dekat dengan langit dan bisa menatap pemandangan dengan berbagai macam pohon besar …entah apa namanya.. pasti mereka sudah mendapatkan nama-nama jenis pohon itu di pelajaran  Biologi pelajaran yang sangat dinantikan oleh anak-anak karena menarik  dan siswa juga  menikmati segarnya udara di daerah Hargobinangun… tentu semua rasa, pikiran itu ada di masing-masing anak-anak kelas 8.  Diiringi gerimis dan akhirnya menjadi hujan yang lebat maka proses siswa-siswi berjumpa dengan keluarga baru agak terhambat sampai pukul 18. 30 proses perjumpaan awal selesai dilakukan.. dan ….. inilah keluarga baru mereka, awal proses pembelajaran  dimulai, semua campur aduk tanpa bisa dipilah mana  yang pelajaran PKN, Agama, Seni Budaya, Biologi, Matematika, Bahasa Indonesia, tetapi itulah pelajaran hidup yang siswa mulai alami di keluarga baru mereka. 

Hariku di Randu, Ponggol dan Wonorejo

Suara deru mesin roda dua, menembus dinginnya Kecamatan Hargobinangun tidak menyurutkan niat guru-guru untuk berjumpa dengan orangtua asuh anak-anak. setiap blok atau daerah dikunjungi oleh 2 orang guru, guru  berjumpa, bertegur sapa dengan orangtua asuh dan siswa-siswi di keluarga barunya. Ada yang kerja bakti  untuk menyapu jalan  tentu ini adalah kegiatan langka bagi mereka, kelompok 135 Randu semakin peduli dengan lingkungan dan orangtua asuh, tetesan air mata mengucur di mata orangtua asuh ketika menceritakan anak-anak begitu baik dan sangat santun.Menyetor Susu sapi  juga menjadi salah satu  kegiatan unik  anak-anak, kaku pasti karena mereka belum pernah melakukan ini. Tapi di sanalah makna kerja keras mereka temukan. Berbeda di rumah orangtua asuh Vita dan kawan-kawan. Rumah teduh dekat sekali dengan alam dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan ada sedikit Bambu betung sebagai penanda  bahwa mereka tinggal di desa. Suara kicauan burung menemani Vita dan kawan-kawan menyantap gorengan yang sudah dibuat oleh ibu asuh mereka. Kesederhanaan dan penerimaan tulus membuat Vita dan kawan-kawan tidak mengeluh. 

Setelah menyusuri jalan aspal menemukan anak-anak yang sedang dibawa oleh orangtua asuh mereka ke sawah, tanpa alas kaki mereka masuk ke dalam aliran air yang sangat bening dan sawah untuk  mencari ikan kecil dan  udang. “ Bu… satu minggu lagi ya…” celetuk anak-anak yang ada di area persawahan. Ungkapan hati anak ketika  menemukan suasana baru. “ Boleh”, dijawab oleh guru pembimbing.  Tidak kalah menarik 3 jagoan dari Santa Ursula Febri dkk, menerapkan Ilmu Matematika untuk membuat lubang simetris sebagai sarana menyemai benih cabai. Banyak cara dan pembelajaran mereka dapatkan bukan dengan cara canggih tetapi dengan keterbukaan dan kerendahan hati, mereka menemukan makna tinggal bersama orangtua asuh. 

 

Ketika Matahari Merangkak  di atas kepala 

          Minuman dawet dibuat oleh siswa-siswi di Ponggol. Warna Hijau dicampur dengan santan dan sedikit pemanis dari gula aren, menepis dahaga yang melekat dalam diri para siswa dan guru-guru pendamping. Pertanyaan  unik meluncur dari Oliv kepada orangtua asuh yang membawakan  workshop pembuatan dawet. “ Mengapa minuman ini ada di sini ? untuk apa ? “ dan tentunya jawaban yang sangat jelas dan rinci dijelaskan oleh orangtua asuh tersebut. Intinya minuman dawet selalu ada di desa Ponggol  setiap ada acara seperti pesta pernikahan, doa bersama, mau panen dan lain-lain, sangat menarik. Ketika matahari mulai merangkak ke atas kepala, para siswa melancarkan aksinya sebagai anak SERVIAM, melakukan bakti sosial kepada keluarga yang perlu dibantu. Membawa plastik  berisi beras, minyak, gula dan teh (sembako) yang telah mereka siapkan di sekolah. Permisi… dicampur dengan kulonuwun… dilontarkan oleh satu dua anak, hanya hasilnya nihil, karena orangtua yang mau dibantu tidak ada di rumah, dan mereka akhirnya menemukan beberapa  keluarga sederhana, di sana mereka berbagi. Bukan barang yang mereka bawa tetapi ketulusan membawa suasana menjadi haru dan rasanya ingin mengulang kembali bertemu dengan beberapa keluarga yang mereka bantu. Tepat di atas kepala matahari bersinar siswa-siswi mesti pulang ke rumah untuk menyiapkan makan siang bersama orangtua. 

Rasa penasaran mereka dalam mengikuti  kegiatan seperti membuat tape, telur asin, kreasi janur, memerah susu sapi, aktivitas sederhana tetapi bermakna untuk siswa. Bukan bahan mahal yang sering mereka temukan di swalayan ketika berbelanja bulanan dengan orangtua mereka,  tetapi memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar rumah mereka seperti daun pisang, batu bata, beras, janur, beras,  dan kerelaan untuk berbagi membuat suasana riuh dan meriah untuk menjawab rasa penasaran siswa, itulah secuil kreativitas siswa Ursula tertuang saat itu.

 

Asa menempel di pikiran dan  ruang angkasa 

Kesederhanaan, keterbukaan, rasa syukur, dan kerendahan hati untuk menerima dan mau belajar apapun yang ada di depan mereka merupakan goresan  sederhana yang tertuang dalam diri mereka.  Kertas bergaris lurus sebagai sarana mereka untuk berbagi cerita menjadi saksi rasa syukur mereka. Terima kasih kami sudah diterima dan boleh belajar menjadi bagian dari keluarga ini, terima kasih papa mama kami boleh 

mendapat pengalaman baru bersama keluarga baru, Para guru terima kasih boleh menjadi tempat bercerita, berbagi pengalaman sepanjang jalan yang disaksikan oleh pepohonan dan gemericik air.  Satu pesan yang sangat melekat dari Pastor Heri Setiyawan, SJ sebagai penutup  kegiatan live in dengan misa alam adalah  

  • Bawalah oleh-oleh permanen untuk diri kalian dari live in ini, 

  • Jadilah pendaki yang  langkah demi langkah maju dan membawa kita menuju puncak kemenangan dalam menjadi anak-anak Allah yang luar biasa, bukan menjadi pendaki yang mundur atau menghindar setiap ada tantangan . 

Santa Ursula,
Ursula Vista,
Vista da Laga,

Laga da Laga.


Salam Serviam!